MILINTAN ORGANISASI PAPUA MERDEKA
M E E P A G G O W I L A
Y A H P A N I A I
Sekertariat Jln. Awepapa Koteka Kog No Everson 081248900660
/ 0813 44108862
PENJELASAN SEJARAH OPM
Pada mulanya OPM
didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah
keluarga Watofa, pertemuan ini dihadiri oleh seluruh komponen masyarakat di
Kota Manokwari seperti kepala suku Arfak, Lodwik Mandacan, Barent Mandacan,
Kepala Kepolisian Papua Mr. John Jambuani, Komandan PVK Mr. Permenas Ferry Awom
dan beberapa anggota PVK-Polisi Papua dan Angkatan Laut Papoea seperti:
Benyamin Anari, Terianus Aronggear, Mr. Marani, Fred Ajoi, Jimmy Wambrau, dan
lain-lain. Organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka
(OPPM) namun hingga saat ini sengaja dikeluarkan oleh Pemerintah Republik
Indonesia bahwa itu adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), atau dengan kata
lain bahwa itu organ yang baru membentuk suatu perjuangan agar bisa dikatakan
sebagai Separatis - Makar - Terroris dan lain sejenisnya. Dikatakan demikian
karena Pemerintah Republik Indonesia sengaja melepaskan kata Pembebasan
sehingga mengandung arti sedemikian rupa.
Organisasi ini didirikan dengan dengan
tujuan untuk bergelirya di seluruh daerah kepala burung (Vogel Kop) pulau Papua
dengan dibentuknya tujuh (7) Batalyon Kasuari dan dibantu oleh beberapa
Komandan Peleton. Berikut adalah ketujuh komandan Batalyon Kasuari tersebut,
yaitu antara lain :
1. Batalyon Kasuari I dipimpin oleh Ex.
PVK Sergean Permenas Ferry Awom, beliau merangkap sebagai Panglima Umum. Dengan
daerah Operasi yaitu Manokwari Kota dan Menyambow.
2. Marthinus Jimmy Wambrau (Komandan
Batalyon Kasuari II) dengan daerah Operasi yaitu Pesisir Pantai Utara
(Saukorem, Arfu, Numbrani, Sidei, dan Nuni).
3. Marthen Rumbiak (Komandan Batalyon
Kasuari III) dengan daerah Gerilya yaitu Manokwari Timur (Ransiki, Windesi,
Oransbari, dan Wasior).
4. Ex. Komandan Polisi Papua, Yohanes. C.
Jambuani (John Caprini Jambuni) sebagai Komandan Batalyon Kasuari IV. Dengan
daerah gerilya yaitu Warsnembri, Kebar, Saukorem dan Manokwari Kota).
5. Silas wompere (Ex. Sergean PVK) sebagai
Komandan Batalyon Kasuari V, dengan daerah gerilya di A3 (Ayamaru, Aifat dan
Aitinyo). Namun dalam gerilya beliau dibunuh di Ayamaru oleh komandan Peleton
(anak buahnya) yaitu Martinus Prawar.
6. Ex. Polisi Papua, Fred Ajoi (Komandan
Batalyon Kasuari VI) dengan daerah Operasi yaitu Kebar, Merdei, Menyambow, dan
Manokwari).
7. Ex. Angkatan Laut Papua, Daniel Wanma
sebagai Komandan Batalyon Kasuari VII. Dengan daera Gerilya yaitu Sausapor,
Saukorem, Teminabuan, dan Sorong Kota).
Sejarah OPM
(Organisasi Papua Merdeka), Oleh: Dr. George Junus Aditjondro
Tanggal 28 Juli 1965
adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu
label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka).
Lahirnya OPM di kota
Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak
terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota
kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah
penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari
suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak
yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta
kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne,
1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).
Pada tanggal 14
Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura,
untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta
"pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.
Peristiwa ini agak
berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya . Soalnya, untuk pertama
kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa
pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan
si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang
berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.
Selain itu, Wanggai
tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus
proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya,
melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat".
Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling
tinggi sampai saat itu. Ia telah menggandol gelar Doktor di bidang Hukum dan
Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor
gubernur Irian Jaya di Jayapura.
Dibandingkan dengan
gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat
perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang
pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara --
tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM --
mendapat perhatian luas.
DENGAN segala
pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk
disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam
pertumbuhan kesadaran nasional Papua.
26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang
pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965.
Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung
selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks,
yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.
Sedangkan tokoh-tokoh
pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends,
serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu
adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua.
Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di
Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak
yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan
bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang
New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan
orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi
Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989:
35-36).
1 Juli 1971
Empat tahun sesudah
pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan
elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi
OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di
suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini,
yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat
Papua, "Mavik".
Pencetusnya juga
berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan
Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet
Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah
Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.
Ironisnya, ia adalah
putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan
Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam
pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).
Sebagai putera dari
seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan
pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan
pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang
memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum
ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di
bawah pasukan Diponegoro.
Namun kekesalannya
menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para
aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.
Sebelumnya ia sudah
membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya,
di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi
Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua
Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)
PROKLAMASI
Kepada seluruh rakyat
Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan
Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan
dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda
sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah
diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta
kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati
dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan
ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan
pemerintah Papua Barat,
Seth Jafet Rumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974
Dalam upacara
pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua
Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan,
Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan
Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL
Republik Papua Barat.
Imajinasi kartografis
wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak
terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan
Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi
itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada
tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota
Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan
Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari
Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang
"100% merdeka di luar Republik Indonesia".i
Sejak Februari 1975,
lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang
di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch.
Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di
Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui.
Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp
13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih
hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan
negeri Jayapura.
Pada tanggal 9 Maret
1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan
"makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya
berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai",
yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di
sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak
mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah
dituduhkan kepadanya?).
26 April 1984
Pada tanggal ini,
pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin
menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang
martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok
OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka
asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah
timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon
akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan
sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari
1984.
Arnold Ap yang lahir
di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari
Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di
masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama
dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk
mengevaluasi hasil Pepera 1969.
Sesudah hasil Pepera
mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu
negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam
waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat
mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks
negara Republik Indonesia.
Selain pertimbangan
real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui
bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang
dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir
menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian
Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon
khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi
Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi
Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.
Dalam kapasitas itu,
ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang
datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang
dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari,
serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981;
Ap, 1983a dan 1983b).
`Dalam kedudukan
sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak
sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan
Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini
didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai
persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain
Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki,
Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu
(IrJaDISC, 1983).
Ternyata, respons
masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun
orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume
kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah
Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio
Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI
Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di
selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu
itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga,
Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.
Berarti, dengan pelan
tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori
oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai
kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu
itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat
serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap
dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat
keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah
suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme
Papua.
Walhasil, Arnold
mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat
dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat
"makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran
Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini,
untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung
mereka.
Keadaan itu berubah
drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang
ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM
yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di
Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan
"kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa
Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan
dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan
Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga
membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden
Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan
kaset-kaset Mambesak.
Walhasil, pada
tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis
di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya
bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan
untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan
dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak
Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita
Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di
Jayapura maupun di Jakarta.
Walaupun penahanannya
dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun
teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak
tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan
dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.
Seorang teman Arnold
yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut
ditahan bersamanya.
Ketidakjelasan status
sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan
Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik
ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan
simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu
bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang
anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.
Sementara itu di
Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan,
dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya
terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat
dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).
Di tengah-tengah
gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk
melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka
di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya
hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS
Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153;
Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).
Sekitar lima ratus
orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang
terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan
saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka
dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.
Kematian sang seniman
ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang
sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka,
sambil menghibur sang janda, Corry Ap.
Kematian budayawan
asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM
di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam
menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet
bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah
seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam
mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).
Namun selang beberapa
tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok
Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada
yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu
menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.
Sedangkan di Negeri
Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh
pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan
jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya
karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun
Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi
dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi
peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi
keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para
migran berkulit hitam.
14 Desember 1988
Seperti yang telah
disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang
dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada
berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya
cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar)
bekal historis OPM yang sebelumnya.
Bendera
"Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera
"Papua Barat" yang sebelumnya.
Konon menurut
ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang
dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971,
dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer
Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga
warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.
Sedang ke-13 garis
warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang
akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri
Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua
Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan
Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang
kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.
Juga "lagu
kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering
dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta
Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di
Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom
Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang
dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang
diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.
BEGITULAH lima
tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian
Jaya. Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah
tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi
ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat
pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua
ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui
proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang
ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang
Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah
lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu,
apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya
membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan
Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara
sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin
berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun,
dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana,
dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian
MENGETAHUI
BADAN PENGGURUS MILINTANT
COMANDAN SEKJEN
H. E. EDIPO YUGIYOBII
OGETAI JORINAB W KADEPA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar